Sabtu, 02 Agustus 2008

Nabiel Makarim Gagal Selamatkan Lingkungan Hidup Dari Daya Rusak Sektor Tambang

Jakarta, 7 Juli 2004---Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini dilanda masalah lingkungan yang tidak henti-hentinya. Tercatat mulai masalah penebangan liar yang mengakibatkan laju deforestasi hingga 3,4 juta hektar per tahun, bencana banjir, kekeringan, dan tanah longsor akibat penggundulan hutan, serta pencemaran perairan darat dan laut. Belum ada kemajuan yang berarti dalam hal pengelolaan lingkungan (environmental governance) yang baik oleh pemerintah Indonesia. Sangat disayangkan, padahal terdapat satu Kementrian Lingkungan Hidup (KLH) yang memiliki tanggung jawab khusus untuk menangani masalah-masalah lingkungan, termasuk fungsi mencegah dampak negatif eksploitasi sumber daya alam.

Kinerja KLH dibawah kepemimpinan Nabiel Makarim, patut dipertanyakan mengingat tersendat-sendatnya beberapa kasus lingkungan pada sector pertambangan, minyak dan gas. Kelambanan institusi KLH dalam menyelesaikan berbagai masalah lingkungan berakibat terjadinya pelanggaran hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya (ekosob) rakyat secara terus-menerus. Kondisi ini diperparah oleh ketidaktegasan KLH terhadap para korporasi tambang sehingga semakin berani berbuat semaunya terhadap lingkungan dan rakyat Indonesia.

“Sebagai benteng terakhir penyelamatan lingkungan hidup di Indonesia dari dampak negatif daya rusak sector tambang, KLH telah gagal. Untuk itu sebagai Menteri Lingkungan Hidup, Nabiel Makarim harus mempertanggungjawabkan kegagalannya itu,” kecam Koordinator Nasional JATAM Siti Maimunah.

Di Minahasa, misalnya nelayan Buyat Pante mengidap berbagai penyakit serius karena kontaminasi logam berat pembuangan tailing ke laut PT Newmont Minahasa Raya (NMR). Masyarakat kecewa dengan sikap Nabiel yang tidak segera mengambil langkah-langkah konkrit, termasuk tidak pernah merealisasikan rencana untuk datang dan berdialog dengan mereka. Memang, terhadap praktik pembuangan tailing ke laut sikap Nabiel Makarim terkesan berpihak terhadap korporasi.

Dari Balongan Indramayu, kasus pencemaran perairan pesisir oleh tumpahan minyak Pertamina UP-VI Balongan, DOH JBB, dan UPMS III Balongan tidak juga tuntas hingga hari ini. Ironisnya, KLH hanya bisa menghimbau Pertamina untuk melakukan pembersihan, itu pun terlambat. Sangat kontradiktif dengan apa yang dilakukan warga sekitar dan Pemkab Indramayu yang dengan suka rela membersihkan tumpahan minyak pada Januari 2003, lima bulan sebelum KLH memberi instruksi.

Nabiel Makarim sekali lagi membuat kekacauan dengan menyatakan tidak terlibat dan tidak mengetahui proses penyusunan Perpu No.1/2004 yang menggantikan UU 41/1999 tentang Kehutanan. Bahkan Nabiel hanya mampu mengomentari lahirnya Perpu itu sebagai “kecelakaan sejarah”. Tampaknya Nabiel memang tak mau ambil pusing dengan resiko hilangnya 1 juta hektar hutan lindung dan kawasan konservasi untuk pertambangan. Keluarnya Perpu ini menjadi bukti bahwa pemerintah, termasuk KLH tidak peka terhadap hutan Indonesia yang kondisinya sudah kritis.

Longgena Ginting, Direktur eksekutif Nasional WALHI menyatakan : “Sikap ini menunjukkan pemerintah dan KLH lebih mengabdi pada kepentingan korporasi tambang multinasional daripada menyelamatkan 7 juta orang masyarakat lokal yang hidupnya tergantung pada hutan lindung” jelas Ginting

Ginting menambahkan, WALHI sangat menyesalkan sikap KLH selama ini yang seakan tidak mau tahu sisi buruk industri pertambangan, minyak, dan gas. Sikap ini mencerminkan KLH masih terkooptasi oleh pemahaman bahwa sumber daya alam adalah komoditi yang harus dieksploitasi habis-habisan. Cara pandang ini nampak ketika KLH justru mendorong dibukanya kembali ekspor pasir laut Indonesia ke Singapura. “Sulit dimengerti, lalu apa bedanya KLH dengan kementerian perdagangan”.

Atas semua kinerja buruk dan ketidakjelasan keberpihakannya terhadap lingkungan hidup dan rakyat Indonesia dari daya rusak sector tambang, maka JATAM, WALHI dan ELSAM menyatakan MOSI TIDAK PERCAYA kepada Dr. Nabil Makarim, menteri lingkungan hidup Indonesia.

Tidak ada komentar: